Galeri

Kemiskinan Di Jakarta (Kota Metropolis)

Profil Kota Jakarta

Jakarta, Ibukota yang berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ci liwung,Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara keTluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ci Liwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan porvinsi Banten.

Etimologi

Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta (Dewanagari जयकृत). Nama ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha”.

Demografi
Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1980-1990 sebesar 2,42 persen per tahun, menurun pada periode 1990-2000 dengan laju 0,16 persen. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,06 persen per tahun.

Sepanjang periode 2002-2006 angka kematian bayi turun secara signifikan, yaitu dari 19,0 per 1000 kelahiran hidup tahun 2002 menjadi 13,7 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006. Dengan penurunan angka kelahiran total dari 1,56 pada tahun 2000 menjadi 1,53 pada tahun 2006, maka terlihat faktor dominan yang mempengaruhi pertambahan jumlah penduduk adalah turunnya angka kematian bayi disamping migrasi dalam jumlah yang cukup besar karena pengaruh daya tarik Kota Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan, ekonomi, keuangan, dan bisnis.

Dilihat dari struktur umur, penduduk Jakarta sudah mengarah ke ”penduduk tua”, artinya proporsi ”penduduk muda” yaitu yang berumur 0-14 tahun sudah mulai menurun. Bila pada tahun 1990, proporsi penduduk muda masih sebesar 31,9 persen, maka pada tahun 2006 proporsi ini menurun menjadi 23,8 persen. Sepanjang tahun 2002-2006, proporsi penduduk umur muda tersebut relatif stabil, yaitu sekitar 23,8 persen. Sebaliknya proporsi penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas) naik dari 1,5 persen pada tahun 1990, menjadi 2,2 persen pada tahun 2000. Tahun 2006, proporsi penduduk usia lanjut mengalami kenaikan menjadi 3,23 persen. Kenaikan penduduk lansia mencerminkan adanya kenaikan rata-rata usia harapan hidup, yaitu dari 72,79 tahun pada tahun 2002 menjadi 74,14 tahun pada tahun 2006.

Sejarah

Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.

Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.

Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.

* Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
* 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan
sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
* 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad
Batavia.
* 1 April 1905 berubah nama menjadi ‘Gemeente Batavia’.
* 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
* September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
* 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad
Gemeente Batavia.
* 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj’a Jakarta.
* 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja
Djakarta Raya.
* Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
* 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
* Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus
ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi
pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan
bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah
kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)

Kependudukan
Jumlah penduduk Jakarta sekitar 8.528.301 (2010), namun pada siang hari, angka tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Kota/kabupaten yang paling padat penduduknya adalah Jakarta Timur dengan 2.632.662 penduduk, sementara Kepulauan Seribu adalah kabupaten dengan paling sedikit penduduk, yaitu 22.035 jiwa

Etnis

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1961, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 2,9 juta yang terdiri dari orang Sunda sebanyak 32,85%, orang Jawa-Madura (25,4%), Betawi (22,9%), Tionghoa (10,1%), Minangkabau (2,1%), Sumatera Selatan (2,1%), Batak (1,0%), Sulawesi Utara (0,7%), Melayu (0,7%), Sulawesi Selatan (0,6%), Maluku dan Irian (0,4%), Aceh (0,2%), Banjar (0,2%), Nusa Tenggara Timur (0,2%), Bali (0,1%), dan keturunan asing lainnya (0,6%).[16]

Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Populasi orang Jawa melebihi suku Betawi yang terhitung sebagai penduduk asli Jakarta. Orang Jawa banyak yang berprofesi sebagai pegawai negeri, buruh pabrik, atau pembantu rumah tangga. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Mereka pada umumnya berprofesi di sektor informal, seperti pengendara ojek, calo tanah, atau pedagang asongan. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur etnis Betawi ke pinggiran kota. Tanah-tanah milik orang Betawi di daerah Kemayoran, Senayan, Kuningan, dan Tanah Abang, kini telah terjual untuk pembangunan sentral-sentral bisnis.

Disamping orang Jawa dan Betawi, orang Tionghoa yang telah hadir sejak abad ke-17, juga menjadi salah satu etnis besar di Jakarta. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah pemukiman mereka sendiri, yang biasa dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara. Namun kini banyak perumahan-perumahan baru yang mayoritas dihuni oleh orang Tionghoa, seperti perumahan di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pengusaha. Banyak diantara mereka yang menjadi pengusaha terkemuka, menjadi pemilik perusahaan manufaktur, perbankan, dan perdagangan ekspor-impor. Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Di pasar-pasar tradisional kota Jakarta, perdagangan grosir dan eceran banyak dikuasai oleh orang Minang. Disamping itu pula, banyak orang Minang yang sukses sebagai profesional, dokter, wartawan, dosen, bankir, dan ahli hukum.

Kemiskinan yang ada di Jakarta dalam kajian Antropologi perkotaan

Gemerlap Kota Jakarta tak serta merta menggambarkan surga bagi kita semua. Kemiskinan, keterpinggiran, dan penyimpangan sosial melekat pula pada ibukota yang dinilai kejam ini. Sebuah sisi kelam dari dua sisi yang berlawanan yang ada di kota dambaan banyak orang terpampang jelas di Jakarta.

Kemiskinan, sebuah fenomena sosial yang tak dapat kita pungkiri nyata terlihat di kota ini. Konsep kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan beragam. Parsudi Suparlan (1982: 290-293) berpikiran bahwa kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standard tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standard kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut Suparlan mengatakan, standard kehidupan yang rendah tersebut nampak langsung pengaruhnya terhadap aspek sosial seperti tingkat pendidikan, kesehatan, kehidupan moral dan harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

Kemiskinan ini kita dapat duga berasal dari sebuah penambahan penduduk ilegal yang selama ini tumbuh subur di kota besar. Bayangan akan megahnya kota besar seperti Jakarta menjadi alasan mereka yang tak memiliki skill pekerjaan atau pendidikan yang memadai. Pasar persaingan yang ditetapkan kota ini membuat mereka yang tidak memiliki kompetensi teringkir dari persaingan yang cukup kejam. Kemiskinan menjadi efek yang telak atas gagalnya persaingan yang coba mereka lakukan di Kota Jakarta.

Dari kemiskinan tersebut, menimbulkan efek yang bercecer, seperti pemukiman liar, gelandangan, dll. pemukiman liar dan gelandangan (Studi di Jakarta dan Purwokerto), menurut Parsudi Suparlan (1986) merupakan konsekuensi logis yang muncul akibat gangunan dan pengembangan perkotaan. Timbulnya gelandangan di perkotaan terjadi karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan yang lebih baik di kota.
Lebih lanjut dalam studinya ia membagi kondisi kehidupan dalam dua hal
yaitu perumahan (sulitnya gelandangan mendapatkan perumahan, sehingga mereka memanfaatkan tanah-tanah liar sebagai pemukiman dengan mendirikan gubuk-gubuk), serta mata pencaharian (aktivitas ekonomi dilakukan dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali).

dalam sosiologi, Gelandangan ini, menciptakan fenomena gepeng, anak punk, dan gemstas yang nantinya akan membentuk suatu gejala perilaku kriminal oleh karena sebuah rasa pengucilan yang mereka dapatkan secara psikologis ataupun tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Kriminalitas oleh karena marjinalitas yang mereka dapatkan tidaklah sepenuhnya menjadi kelahan mereka, namun lebih tepatnya tanggung jawab pengemban amanat rakyat, yakni pemerintah.

Belum lagi penyimpangan sosial yang terjadi oleh karena aspek sisi kelam kota ini, yakni fenomena banci dan psk. Kedua fenomena sosial ini menjadi hal yang telah lama kita ketahui sebelumnya. Sekali lagi permasalahan kemiskinan menjadi kunci jawaban timbulnya fenomena tersebut.

Jawaban semu atas sebuah permasalahan yang telah mengakar

Dari semua permasalahan yang telah tertera diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Jakarta tak selalu menampakan kesan yang megah. Sisi kelam turt pula menaungi perjalanan kota yang telah berusia ratusan tahun ini. Dari sanalah harus timbul kesadaran akan pentingnya skill dan pendidikan untuk mencicipi madu Jakarta.

Sebuah solusi semu yang terus menerus kita ingatkan kepada calon pendatang agar memliki persiapan sebelum menjamah kota ini, agar tidak menamah daftar sampah Jakarta. Bukan untuk mendeskriditkan, namun sekedar pengingatan kembali bahwa setiap jalan yang kita tempuh pasti terdapat resiko. Peran pemerintah daerah asal juga diharapkan dapat sedikit mengurangi minat orang desa untuk merantau tanpa tujuan di Jakarta. Dengan pembangunan fasilitas yang memadai di desa dan penyuluhan tentang sisi lain Jakarta diharapkan akan sedikit mengurangi sesaknya kota ini. Ini semata demi terwujudnya tatanan dan perekonomian kota yang stabil dan teratur.

Tautan: http://www.jakarta.go.id

http://www.kependudukancapil.go.id



Tinggalkan komentar